Sabtu, 01 April 2017

Profesionalisme Berbasis Jabatan Pada Jaksa


I. PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.[1] sehingga konsekuensi yang timbul menyebabkan Indonesia memiliki aturan-aturan tertulis yang digunakan untuk mengatur dan menciptakan ketertiban bagi masyarakatnya. Aturan-aturan yang dirumuskan kedalam bentuk peraturan dalam penegakannya diharapkan dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat. Dan segala tindakan aparat penegak hukum harus sesuai dengan hukum yang telah dibuat antara penguasa dan rakyatnya.
Penegak hukum adalah Pelaksana hukum. Para aparat penegak hukum adalah wakil rakyat dalam penyelenggara negara. Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  merupakan  interaksi  antara berbagai perilaku  manusia  yang  mewakili  kepentingan-kepentingan  yang  berbeda  dalam  bingkai  aturan  yang  telah disepakati bersama.
Secara luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapapun yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berdasar pada norma aturan hukum yang berlaku, maka berarti menjalankan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum diartikan proses penegakan hukum oleh aparatur penegakan hukum untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan. Sehingga para aparat hukum juga diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata  dianggap  sebagai  proses  menerapkan  hukum saja tetapi penegakan hukum melalui tahapan dalam problema  hukum “law  in  action”  bukan  pada  “law  in  the books”.
Penegakan hukum tidak terlepas dari peran profesi hukum seperti Hakim, Pengacara, dan Jaksa , dan kepolisian. Profesi-profesi itulah menjamin penegakan hukum yang terintegrasi. Advokat, polisi, jaksa dan hakim merupakan penegak hukum dalam proses peradilan pidana yang mempunyai kedudukan yang sama yaitu sama-sama penegak hukum (catur wangsa).
Harapan masyarakat bahwa hukum harus memperhatikan rasa keadilan di masyarakat. Pencerminan rasa keadilan seyogyanya dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum. Karena penegakan hukum yang ideal terkait dengan perilaku para aparat penegak hukum dalam menjalankan profesinya secara profesional. Sehingga, keadilan bergantung pada aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan. Selain itu, fakta bahwa hukum berjalan bukan hanya secara teoritis, namun bergantung pada sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
Maka, Keadilan sejatinya harus dimiliki oleh para penegak hukum sebagai cerminan keberhasilan hukum. Keberhasilan hukum adalah tercapainya tujuan hukum itu yaitu Demi tercapainya ketertiban dan kedamaian hukum, maka hukum berfungsi memberikan jaminan kepada seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh orang lain. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan di masyarakat.
Hukum berperan penting dalam mengatur masyarakat untuk ketertiban dan keamanan. Keberhasilan hukum bukan hanya dilihat dari segi perundang-undangan saja, namun dari para aparat penegak hukum juga. Sesuai dengan teori Lawrence M. Friedman, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum
Lawrence M. Friedman menegaskan bahwa dalam sistem hukum terdiri dari tiga unsur yang penting agar dapat efektif dilaksanakan, yaitu Subtansi hukum (Substance), Struktur hukum (structure), dan budaya hukum (culture).[2] Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan (Lawrence M. Friedman, 1984 : 5-6): “To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction …Strukture also means how the legislature is organized …what procedures the police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the action.”
Substansi hukum terkait dengan aspek-aspek yang berkaitan dengan pengaturan hukum dan peraturan perundang-undangan; struktur hukum berkaitan dengan bagaimana aparatur dan prasarana dalam penegakan hukum; dan budaya hukum berkaitan dengan perilaku masyarakatnya.[3]
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga yang berperan penting dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai bagian dari struktur hukum dalam sebuah sistem hukum, kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dan strategis di dalam Negara hukum. Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan dipersidangan, sehingga keberadaannya di dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.[4]
Lembaga kejaksaan memiliki kedudukan yang sangat dominan dalam sistem peradilan pidana. Peran profesi jaksa atau pengacara Negara dalam dunia hukum diperhitungkan atau begitu penting yakni proses penuntutan untuk memulai dalam proses hukum suatu perkara.
Pasal 2 UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa :
  • Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
  • Kekuasaan negara yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Kejaksaan memiliki kedudukan yang sangat dominan dalam sistem peradilan pidana. Sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara pidana dengan monopoli penuntutannya sekaligus sebagai executive ambtenaar yakni merupakan satu-satunya instansi pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
Kejaksaan yang menjalankan fungsi penuntutan dalam bahasa inggris disebut sebagai Prosecution Service. Prosecution berasal dari prosecutes, yaitu bahasa latin yang terdiri dari imbuhan pro (sebelum) pada kata sequi (mengikuti) dalam arti “proses perkara dari awal hingga selesai”. Prosequi berarti menuntut. Dengan demikian, prosecutor (jaksa) adalah pejabat publik yang berwenang melakukan proses perkara dari awal hingga selesai melalui tahap dakwaan.[5]
Profesi jaksa memiliki kewenangan yang sentral dalam proses penegakan hukum. Profesi Jaksa memiliki peran menjalankan sistem peradilan Pidana (Criminal Justice System). Selain tugas dan kewenangan Jaksa sebagai penuntut umum Jaksa juga berperan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Selain itu Jaksa dengan surat kuasa khusus dapat bertindak baik di luar maupun di dalam pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara.[6] Kejaksaan Republik Indonesia juga berperan sebagai penyidik dalam berberapa tindak pidana khusus sebagai mana yang di atur di dalam undang-undang.[7]
Memang tidak dapat disangkal, penuntutan itu merupakan langkah yang signifikan dalam proses pidana. Sebabnya, penuntutan menjadi jembatan atau menjadi penghubung proses penyidikan dengan proses pemeriksaan di persidangan pengadilan.[8] Dalam melakukan penuntutan, jaksa adalah juga pelindung kepentingan umum, sehingga sikapnya terhadap tersangka, terdakwa dan siapapun yang diperiksanya harus objektif dan tidak memihak.[9]
Munculnya permasalahan yang menerpa kejaksaan disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan jaksa baik di tataran atas dan bawah. Ciri-ciri profesionalisme seperti Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu nampaknya mulai mengendur. Maka, perlunya mengasah keahlian serta menjalin kerjasama antar para pihak demi kelancaran suatu profesi itulah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme suatu profesi khususnya jaksa.

  1. II. ANALISA DAN PEMBAHASAN
  2. Profesi Jaksa
Profesi Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka. Asal mula kata Jaksaberasal dari kata dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilahdhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat Negara yang bertugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah kekuasaan kerajaan majapahit. Patih Gajah Mada selaku pejabat Adhyaksa.
Sebagai lembaga penegak hukum di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan diharapkan muncul paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan perasaan. Sehingga Jaksa memiliki jati diri dalam memenuhi profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil Negara dalam penegakan hukum.
Profesionalisme jaksa terhambat oleh masalah-masalah seperti independensi, pelanggaran kode etik, penurunan kualitas sumber daya manusia. Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara demi penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu meningkatkan mengasah kemampuan melalui berbagai pembelajaran. Baik pendidikan formal maupun non formal. Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum seharusnya bersifat rasional. Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah yang mempergunakan metodologi modern. Sehingga dapat mengurangi sifat subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang akan dihadapinya.
Dilihat dari keahlian Jaksa, kemampuan menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara tampak sepintas sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus memiliki keunikan tersendiri. Kemampuan menganalisis bukan hanya didasarkan pendekatan yang legalitas, positivis dan mekanistis. Seorang jaksa, dituntut dapat memahami peristiwa pidana secara menyeluruh agar kebenaran dapat ditemukan sehingga kebenaran dapat ditemukan dan menghasilkan putusan yang adil.

  1. Peningkatan Profesionalisme Jaksa melalui penegakan Independensi
Jaksa berada dalam lembaga kejaksaan adalah salah satu pilar hukum. Lembaga kejaksaan dan Profesi Jaksa memiliki tuntutan masyarakat agar berjalan secara profesional serta terjaga independensinya. Independensi Jaksa dalam menegakkan keadilan terhambat dengan intervensi politik dari pemerintahan yang dialami lembaga kejaksaan. Profesi jaksa sudah terbukti memiliki peran strategis, Daniel S. Lev menggambarkan dinamika politik mempengaruhi tingkat independensi profesi ini.
Intervensi politik telah menghambat profesionalisme Jaksa. Hambatan berawal dari kedudukan lembaga kejaksaan di dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Keberadaannya yang berada di lingkungan eksekutif. Profesionalisme jaksa diuji ketika terdapat masalah independensi lembaga.
Prosedur penuntutan yang sentralistik. Sesuai dengan dasar doktrin een en ondelbaar,berakibat mewajibkan setiap Jaksa penuntut umum untuk mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya. Pola Rentut membuka peluang adanya intervensi atasan kepada bawahan, padahal sebagai Jaksa harus independen. Berbeda dengan hakim yang dijamin independensinya berwenang memberikan putusan maka, wewenang jaksa mengajukan tuntutan di persidangan belum dijamin. Jaksa harus berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan dari atasannya secara berjenjang bergantung jenis tindak pidananya dalam melakukan proses tuntutan.
Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana ini menjadikan jaksa menjadi tidak lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan berpotensi menghambat profesionalisme seorang jaksa. Kewajiban Rencana Tuntutan (rentut) ada sejak 1985 melalui Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. Pada awalnya, pola rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang berubah seiring dengan perkembangan zaman. Untuk tindak pidana umum, kewajiban rentut ini juga dapat ditemukan hingga saat ini dalam Peraturan Jaksa Agung 036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Pidana Umum.
Pasal 37 Perja 036/A/JA/09/2011 menyebutkan bahwa Penuntut Umum membuat Surat Tuntutan Pidana dan mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara. Kepala Kejaksaan sesuai hierarki memberikan petunjuk tuntutan yang harus dilaksanakan oleh penuntut umum di persidangan. Dalam pasal ini pula saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan bebas, dia harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu dihadapan pimpinan Kejaksaan sesuai hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara. Mencermati Pasal 39 Perja ini, dapat disimpulkan secara garis besar dapat disimpulkan bawah independensi jaksa memang dibatasi dan baru diberikan untuk hal-hal tertentu yang harus diatur secara khusus.
Dikhawatirkan Pola Rentut ini membuka peluang adanya intervensi atasan kepada bawahan, padahal sebagai seorang Jaksa harus independen. Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana ini menjadikan jaksa menjadi tidak lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan berpotensimenghambat profesionalisme Jaksa.
Selain itu juga bertentangan dengan Guidelines on the Role of Prosecutors and international Association of Prosecutors juga tidak selaran dengan hasil resolusi pertemuan “The Eropean Status of Justice” sebagaimana diatur dalam Section 9.1 dan Section 9.2, yakni:

  • Section 9.1. the following: Self-government in prosecution creates an essential instrument of judicial power independence. Judges (public officers) in prosecution secure equality of citizens before the law. They discharge their functions independently on political power. They are subordinated to law only.
  • Section 9.2. Judges (prosecutors) who discharge their functions in prosecution shall have identical rights and identical guarantees as stated in the Status hereof.38
Kedua hal tersebut di atas mengamanatkan kemampuan untuk memutuskan secara mandiri dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Pemerintah harus melepasakan kekuasaan mereka dari kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan penuntutan selain itu adanya jaminan hak dan kewajiban Jaksa secara hukum di dalam melakukan proses penuntutan.
Padahal kemampuan seorang Jaksa untuk memutuskan secara mandiri dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya untuk meningkatkan profesionalisme jaksa sebagai penuntut umum, maka harusnya kewajiban rentut ini dihapus untuk meningkatkan independensi Jaksa.
Selanjutnya, agar menegakkan independensi jaksa secara tegas. Maka harus diatur menghilangkan pola runtut dalam peraturan Jaksa demi menegakkan independensi kekuasaan penuntutan. Karena independensi jaksa perlu dijamin sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap jaksa sebagai wakil masyarakat dalam proses perkara pidana. Sehingga masalah tuntutan pidana diberi kepercayaan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara pidana.

  1. Peningkatan Profesionalisme Jaksa melalui penegakan Kode Etik Jaksa
Meskipun independensi Jaksa telah terjamin. Akan tetapi belum lengkap apabila tidak dibarengi dengan pemberdayaan aparatur Negara kejaksaan. Pemberdayaan berdasar undang-undang aparatur sipil Negara agar menjadi lembaga yang professional dan berintegritas. Kejaksaan diharapkan terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan untuk menciptakan kondisi yang mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan keadilan di Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Visi dan misi kejaksaan untuk mencapai maksud tersebut, maka aparat Kejaksaan perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di segala bidang dengan berorientasi pada visi dan misi agar berupaya demi perlindungan dan penegakan kepentingan umum dan kepentingan hukum serta senantiasa berpegang pada asas persamaan di depan hukum.
Pemberdayaan sumber daya manusia Kejaksaan seyogyanya melakukan peningkatan kualitas melalui pembinaan yang tepat demi menjadikan kejaksaan menajdi berkualitas yang baik dari waktu ke waktu. Melalui pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang aparatur Negara berperan strategis untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Maka untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme aparatur Negara, kini perlu dipersiapkan suatu pemeberdayaan manusia di lembaga kejaksaan.
Sumber daya manusia merupakan faktor yang menentukan keberhasilan dalam setiap organisasi. Dapat dikatakan Sumber Daya Manusia menjadi salah satu unsur kekuatan daya saing bangsa, bahkan penentu utama. Oleh sebab itu, SDM harus memiliki kompetensi dan kinerja tinggi. Dan dalam konteks berbangsa, SDM tidak saja dituntut untuk menjadi professional dan sebagai pembangun citra pelayanan publik, tetapi juga dituntut sebagai perekat dan pemersatu bangsa.[10]
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan institusi lembaga kejaksaan. Individu kejaksaan perlu untuk memberdayakan sesuai individu demi keberhasilan lembaga kejaksaan secara menyeluruh agar hukum dapat terlaksananya di masyarakat.
Karena ditangan aparat hukum itulah hukum itu hidup dan berkembang. Maka profesionalisme aparat penegak hukum tercermin pada citra positif seorang penegak hukum perlu di masyarakat. Ditangan seorang aparat penegak hukum disitulah hukum hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya. inilah sampai muncul pertanyaan bahwa,”It doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy behind the desk interprets the law to say”. Menurut pendapat dari beberapa pakar sosiologi hukum sering menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.
Seorang Jaksa sebagai wakil masyarakat dalam penuntutan sebenarnya bukan hanya memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, namun memperjuangkan keadilan hukum yang terjadi di masyarakat.
Dalam penegakan hukum, hukum bukanlah sesuatu yang bersifat mekanistis, tapi hukum bergantung pada sikap tindakan penegak hukum itu sendiri. Maka melalui tindakan dan perilaku aparat penegak hukum itu tujuan hukum yang tertulis dapat tercermin melalui pelaksanaan hukum itu. Sehingga perlunya mengawal penegakan hukum agar sesuai dengan keadilan.
Profesi Jaksa mendapat tantangan dalam rangka penegakkan hukum. Profesi jaksa memerlukan suatu tanggung jawab yang besar baik individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum positif serta tunduk pada kode etik profesi.
Lembaga kejaksaan melalui kode etik kejaksaan memiliki nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman perilaku dalam satu profesi. Kode etik Jaksa apabila dijalankan sesuai dengan sesuai tujuan akan menghasilkan para Jaksa yang professional dan mempunyai kualitas moral yang baik.
Kode etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana Jaksa akan berjanji untuk akan melaksanakan tugasnya dan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa serta memepertanggung jawabkan dirinya kepada bangsa dan Negara. Dengan adanya doktrin ini maka akan memperkuat sistem pengawasan Jaksa karena adanya dua peraturan yang dilanggar jika ada pelanggaran.
Etika berasal dari kata “ethos” yang berarti sifat menjadi orang baik. Ethos diartikan sebagai kesusilaan, kecenderungan perasaan batin seseorang untuk berbuat kebaikan. Etika merupakan semacam batasan atau standar yang mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Untuk kode etik profesi jaksa di Indonesia telah diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang kode etik jaksa. Dimana dalam Pasal 4 ,
Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
  1. Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
  2. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
  3. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis;
  4. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya
  5. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya;
  6. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
  7. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
  8. Membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum;
  9. Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangani.
Pemberdayaan kejaksaan dapat dilakukan dengan memampukan diri mengantisipasi situasi dan tuntutan yang sedang dan yang akan berkembang dengan sangat pesat.Cara yang dilakukan ialah dengan jalan mempersiapkan sumber daya manusia yang aspiratif, responsif, dan pro aktif, serta aparatur yang integritas moralnya cukup kokoh dan kematangan intelektualnya cukup mantap serta berkemampuan profesional yang tinggi.
Permasalahan pelanggaran kode etik Jaksa mulai berkembang mulai dari munculnya kasus jaksa seperti suap menyuap, jaksa nakal, jual beli perkara sampai tindak pidana asusila. Menurut data bahwa pada Tahun 2015, tercatat pemecatan sebanyak Jaksa di tingkat pusat dan daerah. Tercatat pada Juli 2015, ada 60 jaksa yang sudah dipecat karena melakukan perbuatan indisipliner dan melanggar kode etik. Pelanggaran yang dilakukan karena terindikasi menggunakan narkoba, sering bolos kerja, dan mencuri barang-barang sitaan yang masuk perkara.[11]
Jaksa Agung Muda Pengawasan, Jasman Panjaitan mencatat bahwa pemecatan Jaksa lebih tinggi dari pada tahun lalu. hingga akhir 2014 lalu Kejagung hanya memecat 40 jaksa nakal yang ada di seluruh Indonesia. Jumlah yang jauh lebih sedikit dibanding pemecatan terhadap jaksa hingga pertengahan tahun ini yang mencapai angka 60 orang. Beberapa jabatan pimpinan kejaksaan yang kosong karena pemecatan itu adalah Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibadak, dan Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Cibadak.
Hal ini tidak boleh dibiarkan karena profesi Jaksa ialah posisi yang terhormat dan memiliki kedudukan yang penting dalam proses penegakan hukum. Lembaga kejaksaan memiliki kedudukan penting dalam proses peradilan Negara. Sehingga perlunya menjaga integritas jaksa sebagai pejabat hukum. Sehingga, sangat disayangkan apabila ternodai oleh adanya kasus pelanggaran yang terjadi di tubuh kejaksaan.
Profesi hukum membutuhkan integritas didalamnya, menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Integritas ialah harga mati pada profesi hukum khususnya Jaksa. Karena integritas Jaksa sangat penting dibanding ilmu dan pengalaman yang dimiliki seorang jaksa sebagai penegak hukum. Dan hanya orang-orang yang punya integritas, yaitu keberanian, kejujuran, keadilan, yang layak untuk bekerja di bidang hukum.[12]
Merosotnya profesionalisme di kalangan jaksa baik di tataran atas dan bawah seperti Keahlian, rasa tanggung jawab, disiplin, integritas, dan kinerja terpadu nampaknya membuktikan profesionalisme mulai mengendur. Maka, perlunya mengasah keahlian serta pengawasan kode etik demi kelancaran suatu profesi itulah yang perlu dilakukan.
Profesi Jaksa telah dilengkapi dengan kode etik Jaksa. Keberadaan kode etik pada dasarnya internal kelembagaan yang berkaitan, dan tujuannya untuk melindungi profesi bersangkutan dengan pelayanan atas kepentingan publik.[13]
Disamping berupaya menjadikan lembaga kejaksaan yang independen, Penegakan kode etik jaksa dapat dilakukan dengan pembuatan standar operasional yang jelas dan pemberian sanksi yang tegas. Pemberian sanksi tegas ini supaya meminimalisir dan menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Selain juga bertujuan untuk meningkatkan Profesionalisme sumber daya manusia di kejaksaan. Upaya pemberdayaan sumber daya manusia kejaksaan ini untuk mengukuhkan kekuasaan penuntutan menjadi lembaga yang bermoral dan berkualitas.
Apabila upaya diatas telah dijalankan, maka akan menghasilkan para Jaksa sebagai aparatur Negara yang professional dan mempunyai kualitas moral yang baik. Permasalahan yang menerpa kejaksaan mengakibatkan kejaksaan harus direformasi. Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan terlaksananya hukum di masyarakat. Karena ditangan seorang jaksa sebagai aparat penegak hukum disitulah hukum hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya.
Maka, Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia Kejaksaan seyogyanya melakukan peningkatan kualitas melalui cara diatas. Melalui pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang aparatur Negara berperan strategis untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional.
           
DAFTAR PUSTAKA :

Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social Science PerspectiveNew York: Russel Sage Foundation.

Andi hamzah dan RM Surachman. 2014. Pre-Trial Justice and discretionary Justice dalam KUHAP Berbagai Negara. Jakarta. Sinar Grafika.

journal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/download/1315/1066

http://www.hukumpedia.com/elvi17/penegakan-profesionalisme-jaksa-melalui-independensi-dan-kode-etik-upaya-pemberdayaan-sumber-daya-manusia-di-kejaksaan-yang-berintegritas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar